Pemerintah sedang mempersiapkan beberapa faktor untuk warga
jalani new normal, termasuk juga dalam bagian transportasi. Djoko Setijowarno
sebagai pemerhati transportasi publik memandang bila pada new normal
permasalahan yang ditemui bukan pada transportasinya, tapi dari bagaimana
mengendalikan pekerjaan manusianya.
"Untuk penerapan new normal pada transportasi umum
massal perkotaan terutamanya Jabodetabek, persoalan fundamental bukan pada
pemberlakukan prosedur kesehatan, seperti cek temperatur badan, hand
sanitizier, masker termasuk juga ketaatan publik untuk physical distancing.
Tetapi lebih dari pada itu masalahnya ialah bagaimana kekuatan kemampuan
transportasi umum massal bisa jamin terlaksananya physical distancing khususnya
pada jam-jam repot," papar Djoko pada merdeka.com, Senin (1/6).
Strategi Menang Taruhan Mix Parlay
Menurut dia, bila new normal ditranslate untuk semua masuk
kerja dengan agenda seperti situasi sebelum epidemi. Dapat dinyatakan kemampuan
transportasi umum massal di Jabodetabek, tidak bisa jamin penerapan menjaga
jarak.
"Mengapa demikian? Sebab susah untuk lakukan tambahan
kemampuan transportasi umum massal dengan cara relevan pada jam-jam repot
supaya terwujud physical distancing dengan permintaan sama dengan pada saat
sebelum epidemi," tuturnya.
Ia memberikan contoh, KRL pada jam-jam repot, pasti mustahil
meningkatkan kemampuan di saat itu supaya terwujud tiap kereta cuma optimal 35
% serta semua penumpang terbawa (50 % saja kemungkinan sangat berat).
Termasuk juga, lanjut ia, bila dilaksanakan peralihan ke
transportasi umum massal bis kemungkinan dapat jadi jalan keluar. Tetapi harus
bisa dinyatakan besaran biaya bisa sesuai seharga biaya KRL. Efek lainnya akan
membuat kemacetan di jalanan raya, sebab pilihanan menggunakan kendaraan
pribadi.
"Lalu, Di sini rintangannya apa kebijaksanaan ganjil
genap masih dikerjakan atau untuk sesaat ditiadakan. Bila masih dikerjakan
tetapi pemerintah tidak dapat sediakan tersedianya transportasi umum yang ideal
untuk physical distancing, karena itu kebijaksanaan ganjil genap prospek
dipersoalkan publik," jelas Djoko.
Jalan keluarnya, kata Djoko, semua pihak harus memandang
bila kebijaksanaan pemerintah mengenai new normal bukan bermakna memperboleh
kesibukan warga seperti sebelum epidemi. Masih ada beberapa batasan yang
berlaku, supaya ada pengontroln intensif warga.
Maka dari itu, ia merekomendasikan di saat masuk new normal
tidak semestinya semua warga kembali pada kantor seperti situasi sebelumnya,
sebelum epidemi.
"Yang masih tetap dapat work from home ya seharusnya
tetep WFH atau ada pengurangan ada ke kantor. Bagian yang tuntut pekerja harus
tiba ke tempat kerja, perlu ditata agenda kerjanya hingga beragam gerakan
orangnya, tidak menimbun pada pukul yang sama dengan waktu sebelum
epidemi," katanya.
"Atau jika ingin sesuai dengan ketetapan Ketetapan Menteri Kesehatan bisa sediakan sendiri keperluan angkutan untuk beberapa karyawannya supaya terjaga prosedur kesehatan khususnya physical distancing," sambungnya.